Syekh Imran Husein (Islamic Philosopher), Dr.
Sulaeman Dufford (Guru Besar Universitas Kebangsaan Malaysia), Prof.
Jawahir Thontowi, SH PhD (Guru Besar UII), Drs. Agus Triyanta, MA PhD
(Sekretaris Magister Ilmu Hukum UII), dan Dr. Suparnyo, SH MS (Wakil
Rektor I UMK) dihadirkan untuk membedah tema “In Quest of Islamic Economics Challenges and Opportunities in Strengthening the Future of Muslim Countries Economics” pada Kamis (17/1) di Santika Premiere Hotel, Semarang.
Dalam seminar yang mengundang lembaga keuangan, pengadilan agama, organisasi masyarakat (Ormas) Islam, serta PTN-PTS se-Jawa Tengah serta 102 orang peserta ini, Syekh Imran membandingkan keunggulan uang dinar dan dirham dibanding uang kertas. Ia memberikan contoh kecil bahwa uang kertas penggunannya sangat terbatas pada negara tempat uang kertas tersebut dicetak. Berbeda, dinar dan dirham penggunaanya luas karena terbuat dari emas dan perak.
Selain itu, uang kertas pada kondisi tertentu dinilai dapat menimbulkan inflasi. “Inflasi sama dengan riba,” paparnya dalam bahasa inggris yang dibantu seorang translator.
Ia menyontohkan Malaysia sebagai salah satu contoh negara yang mulai menggunakan dinar dan dirham. Meski Ringgit tetap sebagai mata uang sah, di Malaysia, dinar dan dirham menjadi mata uang alternatif uang kertas dan telah tersebar luas di negara bagian. Masyarakat memanfaatkan mata koin dinar dan dirham secara sukarela. “Bahkan pemerintah dan bank sentral pun tidak mampu melarangnya,” ujarnya.
Berbeda, Indonesia sama sekali belum menggunakannya. Padahal, muslim menjadi mayoritas penduduk di negara ini. Di akhir paparannya, Syekh Imran pun menyarankan agar Indonesia memperjelas sistem ekonomi Islam yang diterapkan.
Praktik Ekonomi Islam
Sementara itu, Agus Triyanta membahas mengenai Teori dan Praktik sistem perbankan Islam di Malaysia dan Indonesia. Menurutnya, Indonesia masih tertinggal jauh dalam penerapan sistem perbankan Islam dibandingkan negara tetangga, Malaysia dan Singapura. “Jelas-jelas Indonesia berpenduduk muslim terbesar, tapi penerapan Syariah Islam justru kalah dari negara lain,” papar dosen UII ini.
Menurut catatannya, sampai kini, perbankan Islam (Islamic Banking) telah dipraktikkan di lebih dari 75 negara, meliputi negara-negara Islam, Eropa, Amerika, hingga Timur Jauh (Far East). Bahkan, 2013 ini, aset perbankan Islam di seluruh dunia diprediksi mencapai US$1.8 triliun.
Malaysia, jelasnya, berada di urutan kedua dalam 3 terbesar negara dengan aset sebesar US$ 106 miliar, lebih besar dibanding Uni Emirat Arab (UEA) dengan US$75 miliar. Ia hanya kalah dibanding Saudi Arabia dengan aset US$207 miliar.
Di Indonesia sendiri, jelasnya, aset perbankan Islam hanya sekitar 4.3 persen dari seluruh aset perbankan nasional. Sangat jauh dari Malaysia 24,2 persen dari seluruh aset perbankan nasional.
Hal itu terjadi, menurut Agus, disebabkan kerangka hukum perbankan Islam yang telah kuat dan sehat sejak awal dimulai di Malaysia. “Sementara Indonesia tetap menderita akibat kekurangan hukum dasar di beberapa aspek. Jadi perlu harmonisasi antara kontrak Islam di dalam hukum sipil,“ papar dosen UII ini.
Dalam seminar internasional tersebut juga dibahas mengenai perlindungan terhadap kebudayaan muslim dari ‘budaya’ riba. “Di negara timur, budaya harus sesuai dengan agama. Berbeda dengan negara barat, dimana agama merupakan hasil dari kebudayaan,” jelas Dr. Sulaeman Dufford menunjukkan analisanya.
Sementara itu, Dr. Suparnyo memberikan paparan mengenai Corporate Social Responsibility menurut hukum ekonomi Islam. (Nabila-Portal).
Source : http://akuntansi.usm.ac.id/?p=2075
Tidak ada komentar:
Posting Komentar