MABRUR Sebelum BERHAJI
Cerita Nyata bukan Fiksi
Pengorbanan menegakan Agama Allah SWT (Islam) maka Allah akan membalasnya dengan mengangkat tinggi derajatmu
“
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah,
nisacaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad:
7)
Seorang
Asep Sudrajat (61 tahun) bersama Asih, istrinya mewakili seorang yang
mabrur sebelum berhaji, insya Allah. Hampir selama 20 tahun mereka
menabung demi mewujudkan cita-cita mulia. Memenuhi panggilan Allah
menuju tanah suci Mekah Al Mukarramah. Niat yang kuat dibuktikan dengan
usaha sungguh-sungguh. Mengumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil
warung kecil mereka yang seadanya.
Rp 50. 830. 000 terkumpul
sudah. Hampir mencukupi untuk ongkos haji yang 27 juta rupiah per orang,
ketika itu. Hanya perlu menambah sedikit agar benar-benar pas. Menabung
satu tahun lagi barangkali tercukupi.
Niat sudah lengkap.
Tekad sudah bulat. Mereka akan segera mendaftar di hari-hari depan.
Hari-hari berikutnya mereka semakin giat berdagang. Menyisahkan hasil
meski kecil. Hingga suatu pagi mereka mendengar kabar bahwa Kang Endi,
kawan karibnya sesama jamaah masjid Ash-Shabirin, mendadak sakit. Ia
dirawat di RS Hasan Sadikin, Bandung. Asep pun segera menjenguknya.
Kang Endi dirawat di ruang ICU. Tumor ganas menyerang dan menjalar.
Begitu diagnosis dokter. Bergidik Asep mendengarnya. Ia besarkan hati
sahabatnya untuk sabar, tawakal dan berdoa.
Hari kedelapan Kang Endi dipindahkan ke ruang kelas 3. Kamar yang gelap, pengap, berbau tak sedap dan cukup berantakan.
Hari kesebelas, saat Asep di sana, seorang perawat membawa surat.
Tawaran untuk operasi tumor ganas. Biayanya hampir 50 juta rupiah.
Dengan ekonomi yang sangat terbatas, keluarga Kang Endi hanya bisa gigit
jari. Kondisinya semakin parah. Badannya semakin kurus dan lemah. Sorot
matanya redup dan tak bisa bicara. Terkulai tak berdaya. Di pinggir
ranjang. Asep sahabatnya mengambil keputusan besar. Berpamitan pulang.
Sesampai di rumah, Asep menyampaikan keputusannya kepada Asih, sang
istri. “Bu, kondisi Kang Endi semakin memburuk. Bapak tidak sanggup
melihat penderitaannya,” papar Asep sambil bercerita lirih solusi yang
ditawarkan pihak rumah sakit.
“Kasihan mereka ya Pak! Kita
bisa bantu apa?” Tanya Asih, iba. Trenyuh. “Kalau ibu berkenan,
bagaimana bila dana tabungan haji kita diberikan saja kepada mereka
semua untuk biaya operasi?” Asep menawarkan. Asih sempat kaget.
“Diberikan? Waduh Pak, hampir 20 tahun kita menabung. Masak cita-cita
ini pupus seketika dengan membantu orang lain?” tutur Asih memelas.
“Bu, banyak orang yang berhaji tapi belum tentu mabrur di sisi Allah.
Mungkin ini jalan buat kita untuk meraih keridhaan Allah. Bapak yakin,
bila kita menolong saudara kita, Insya Allah, kita pun akan ditolong
Allah,” nasihat Asep.
Kalimat demi kalimat dari lidah suami
yang penuh wibawa itu menyirami relung hati Asih. Istri solehah itu pun
akhirnya mengangguk setuju. Esok paginya, Asep dan Asih datang ke rumah
sakit. Mengajak bicara istri Kang Endi sekaligus menyerahkan uang
tersebut.
Istri Kang Endi tersentak, menangis, dan tak bisa
berkata apa-apa. Suasana haru menyelimuti mereka. Uang itu dibawa ke
bagian administrasi. Formulir diisi. Besok paginya jam 08.00 operasi
tumor pun dijalani. Alhamdulillah.
Esoknya, sebelum operasi,
dokter spesialis tulang yang selama ini menangani Kang Endi sempat
berbincang dengan pihak keluarga. “Doakan ya agar operasi berjalan
lancar! Oh ya, kalau boleh tahu, dari mana dana operasi ini?” Tanya
dokter yang tahu persis kondisi ekonomi keluarga Kang Endi.
“Alhamdulillah. Ada seorang tetangga kami yang membantu Dok. Namanya Pak Asep,” jawab istri Kang Endi.
“Memangnya, beliau usaha apa? Kok mau membantu dana hingga sebesar
itu?” Di benak sang dokter, pastilah Asep seorang pengusaha sukses.
“ Dia cuma usaha warung kecil saja kok di dekat rumah kami. Saya
sendiri nggak percaya waktu dia dan istrinya memberikan bantuan sebesar
itu,” tambahnya.
Alhamdulillah. Akhirnya operasi berjalan
lancar. Seluruh keluarga, dokter dan perawat merasa gembira. Kang Endi
tinggal menjalani masa penyembuhan pasca operasi. Selama itu, Pak Asep
masih sering menjenguknya.
Suatu hari Asep dan sang dokter
yang sedang memeriksa Kang Endi pun berkenalan. Dokter memuji kemurahan
hati Pak Asep. Pak Asep hanya mampu mengembalikan pujian itu kepada
Allah. Dokter itu kemudian meminta alamat Asep.
Beberapa pekan
berlalu, Kang Endi sudah pulang dari rumah sakit. Malam itu, Asep dan
Asih tengah berada di rumahnya. Warung mereka belum lagi tutup.
Tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan pagar rumah mereka.
Namun Asep dan Asih tak bisa mengenali mereka. Begitu mendekat, tahulah
Asep pria yang datang adalah dokter yang merawat Kang Endi. Ia datang
bersama istrinya.
Asep kikuk saat menerima mereka. Seumur
hidup belum pernah menerima ‘tamu besar’ seperti malam itu. Mereka pun
dipersilahkan masuk. Diberi sajian ala kadarnya. Mereka terlibat
pembicaraan hangat. Asep pun menanyakan maksud kedatangan mereka. Dokter
mengungkapkan niat mereka bersilaturrahim seraya menyatakan keharuannya
terhadap pengorbanan Asep dan istrinya. “Kami ingin belajar ikhlas
seperti Pak Asep dan Ibu,” ungkap sang dokter penuh perasaan. Asep
mengelak. Merendah.
“Pak Asep dan Ibu, saya dan istri berniat
menunaikan haji tahun depan. Saya mohon doa Bapak dan Ibu agar
perjalanan kami dimudahkan oleh Allah Ta’ala. Saya yakin doa orang-orang
shalih seperti Bapak dan Ibu akan dikabulkan Allah,” lanjut sang
dokter. Berkali-kali Asep dan Asih mengaminkan, walau ada sedikit rasa
sedih dan getir. Sebab tahun depan mereka juga seharusnya bisa berangkat
ibadah haji.
“Tapi, supaya doa Bapak dan Ibu semakin
dikabulkan oleh Allah, bagaimana jika Bapak dan Ibu berdoanya di
tempat-tempat yang mustajab?” papar sang dokter sambil menatap Asep
dalam-dalam.
Asep sempat bingung, tapi ia beranikan diri untuk bertanya; “Maksud Pak Dokter?”
“Maksud kami, izinkan saya dan istri mengajak Bapak dan Ibu untuk
berhaji bersama kami dan berdoa di sana sehingga Allah mengabulkan doa
kita semua,” tutur sang dokter penuh suka cita.
Asep dan Asih
tiba-tiba diam. Saling berpandangan. Hening. Tak ada jawaban dari Asep
dan Asih. Hanya ada derai air mata Asep dalam pelukan erat sang dokter,
dan uraian tangis haru Asih dalam pelukan istri sang dokter. Dan, di
ujung malam itu, tangis Asep dan Asih semakin meledak dalam sujud-sujud
yang teramat syahdu dan dalam pijar-pijar syukur yang menyala indah.
***
Subhanallah wa Allhamdulillah. Tiada kata yang bisa mewakili kecuali hanya kepada keagungan Allah kita memasrahkan diri.
Rasulullah
Saw bersabda; “Barangsiapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mukmin
dari berbagai kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan berbagai
kesulitannya pada hari Kiamat. Dan barangsiapa yang memudahkan orang
yang sedang kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan
akhirat.” (HR. Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar