Visi Syariah dalam Penyempurnaan UU Pajak
http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=281
Nasirwan IlyasPeneliti Senior pada Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia
Perbincangan mengenai rencana penyempurnaan UU Perpajakan menjadi isu yang hangat belakangan ini. Ini, karena UU Perpajakan merupakan produk hukum publik yang dampaknya dirasakan langsung oleh dunia usaha dan sangat berpengaruh terhadap ikilm investasi dan usaha nasional. Pihak DPR selaku mitra pemerintah dalam penyusunan UU perlu mempertimbangkan secara proporsional aspirasi berbagai pihak tersebut, dengan asumsi pemerintah dalam hal ini akan mengedepankan upaya maksimal meningkatkan penerimaan pajak terutama dalam kondisi keuangan negara yang kurang menguntungkan.
Isu mengenai
perpajakan bank syariah, telah muncul lama sebelum rencana penyempurnaan
UU Perpajakan digulirkan. Permasalahan yang umum terjadi karena kontrak
keuangan syariah memiliki sejumlah perbedaan mendasar dibandingkan
dengan kontrak keuangan bank konvensional. Produk bank syariah secara
umum menerapkan prinsip bagi hasil, jual-beli dan sewa/jasa, karena
dalam ekonomi Islam yang menjadi dasar operasional bank syariah,
pengenaan bunga pada pemberian pinjaman uang tidak diperkenankan.
Sebagaimana kita ketahui sistem perbankan syariah di Indonesia secara
formal baru muncul pada 1992, dan berkembang lima tahun terakhir.
Sehingga, wajar jika aturan perundang-undangan perpajakan belum secara
eksplisit dan khusus mencantumkan aturan bagi transaksi dan produk bank
syariah.
Kepatuhan syariah vs daya saing?
Kekhasan produk bank syariah, yang sering menggunakan terminologi belum banyak difahami sering menimbulkan permasalahan dalam menjelaskan bagaimana implementasi ketentuan pajaknya. Selain itu, dalam produk bank syariah terdapat berbagai ketentuan kesyariahan yang sangat mengedepankan tahapan proses dari transaksi untuk menjamin kesesuaian syariah dari suatu akad.
Kekhasan produk bank syariah, yang sering menggunakan terminologi belum banyak difahami sering menimbulkan permasalahan dalam menjelaskan bagaimana implementasi ketentuan pajaknya. Selain itu, dalam produk bank syariah terdapat berbagai ketentuan kesyariahan yang sangat mengedepankan tahapan proses dari transaksi untuk menjamin kesesuaian syariah dari suatu akad.
Sebagai contoh, pada produk
pembiayaan murabahah secara ideal dilakukan dua kali proses peralihan
hak kepemilikan barang yaitu dari supplier kepada bank dan dari
bank kepada nasabah. Walau secara hasil akhir, sama dengan kredit bank
konvensional -- yaitu tersedianya barang modal -- yang dibutuhkan
nasabah dengan sumber pembiayaan dari bank dan timbul kewajiban membayar
oleh nasabah, namun terdapat kaidah kesyariahan yang mengharuskan
proses dua tahap tersebut dilakukan. Karena ada hukum fiqh yang mengatur
keabsahan jual beli yaitu pemilikan secara sah barang yang akan
dipindahtangankan.
Dalam kasus murabahah ini
apabila diterapkan ketentuan PPN seperti yang berlaku pada usaha dagang
akan terjadi pengenaan pajak pada setiap proses penyerahan barang kena
pajak. Bank syariah umumnya terpaksa melakukan penyesuaian alur
transaksi, misalnya dengan melakukan pelaksanaan murabahah melalui
pendelegasian kewenangan membeli kepada nasabah serta penyesuaian
lainnya yang dapat berpotensi tidak terpenuhinya kaidah syariah.
Salah
satu sasaran yang ingin dicapai dalam pengembangan bank syariah adalah
meningkatkan kualitas layanan, efisiensi operasi dan daya saing, serta
pemenuhan kaidah syariah secara konsisten. Peningkatan daya saing,
selain dilakukan dari sisi mutu pelayanan dan jaminan ketaatan pada
prinsip syariah adalah dengan meningkatkan return investasi dan
menurunkan biaya jasa perbankan yang ditawarkan. Jelas bahwa biaya jasa
selain dipengaruhi oleh kualitas pengelolaan aset serta efisiensi
operasi, juga dipengaruhi oleh beban pajak.
Bencmarking ke negara lain
Di Malaysia, sejalan dengan kemajuan pengembangan bank syariah, pemerintah melakukan sejumlah penyempurnaan UU yang dapat menjadi insentif bagi lembaga dan pengguna jasa keuangan syariah. Penyempurnaan secara berkelanjutan dilakukan pada berbagai UU agar tercipta suatu kondisi yang dapat mendorong inovasi produk, menciptakan dayasaing dan peningkatan aktivitas pasar keuangan syariah.
Di Malaysia, sejalan dengan kemajuan pengembangan bank syariah, pemerintah melakukan sejumlah penyempurnaan UU yang dapat menjadi insentif bagi lembaga dan pengguna jasa keuangan syariah. Penyempurnaan secara berkelanjutan dilakukan pada berbagai UU agar tercipta suatu kondisi yang dapat mendorong inovasi produk, menciptakan dayasaing dan peningkatan aktivitas pasar keuangan syariah.
Otoritas
pajak dan penyusun perundang-undangan Malaysia pada tahun 1995
melakukan penyempurnaan UU Pajak untuk mengakomodasi kebutuhan lembaga
keuangan syariah. UU Pajak yang disempurnakan yaitu: (i) UU Pajak
Penghasilan Tahun 1967, (ii) UU Bea Materai Tahun 1949 dan (3) UU Bea
Pengambilalihan Aset Properti Tahun 1976. Seperti tertera dalam
konsiderannya, amandemen UU tersebut pada dasarnya bertujuan untuk
menghindari terjadinya diskriminasi penerapan ketentuan pajak terhadap
instrumen keuangan syariah dan mendorong perkembangan industri bank
syariah itu sendiri.
Hal yang berharga dan
seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia adalah penyempurnaan
UU Pajak oleh negara non muslim untuk memberi ruang gerak luas dan
mendukung pertumbuhan industri keuangan syariah, seperti di Inggris,
Australia dan Singapura. Di Inggris, didasari semangat menciptakan pasar
keuangan yang inovatif dan kompetitif maka otoritas keuangan selalu
bersikap akomodatif terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi lembaga
yang menawarkan jasa keuangan syariah sejauh sejalan dengan sistem yang
berlaku secara umum di Inggris.
Sebagai implementasi komitmen tersebut, kementrian keuangan Inggris telah menetapkan Amandemen Stamp Duty Land Tax
(SDLT) yang efektif per 1 Desember 2003, di mana secara prinsip bea
SDLT yang harus dikeluarkan adalah atas transaksi tanah dan bangunan
tidak atas dasar dokumen-dokumen yang menjadi dasar peralihan hak atas
tanah dan bangunan.
Dengan demikian maka pajak
yang dibayarkan hanya satu kali dalam pembiayaan perumahan secara
syariah. Sir Eddy George, mantan Gubernur Bank of England, mengomentari
amandemen tersebut bahwa walaupun Menkeu Inggris secara umum dikenal
tidak generous dalam memberikan kelonggaran fiskal, namun amandemen itu
dinilai merupakan isyarat mengenai perhatian pemerintah terhadap
kebutuhan minoritas muslim di Inggris untuk memperoleh fasilitas
pembiayaan sesuai dengan keyakinannya.
Apakah
obyektivitas seperti itu tidak dapat menggugah otoritas pajak Indonesia,
negara muslim terbesar didunia? Peraturan yang dikeluarkan Menkeu
Inggris tentang perpajakan bagi lembaga keuangan syariah dinilai suatu
sikap lebih mengedepankan substansi/hakikat pembiayaannya dari pada
bentuk transaksi itu sendiri.
Pemikiran untuk Penyempurnaan
Momentum penyempurnaan UU Perpajakan yang sedang berlangsung saat ini mestinya dapat dimanfaatkan untuk memasukan substansi hukum yang memberikan kejelasan mengenai perpajakan bagi lembaga dan produk bank syariah. Tentu saja pada UU yang merupakan aturan bersifat high level cukup ditetapkan sejumlah pasal yang menjadi payung hukum yang mencerminakan kebijakan pemerintah terkait pajak bagi bank syariah.
Momentum penyempurnaan UU Perpajakan yang sedang berlangsung saat ini mestinya dapat dimanfaatkan untuk memasukan substansi hukum yang memberikan kejelasan mengenai perpajakan bagi lembaga dan produk bank syariah. Tentu saja pada UU yang merupakan aturan bersifat high level cukup ditetapkan sejumlah pasal yang menjadi payung hukum yang mencerminakan kebijakan pemerintah terkait pajak bagi bank syariah.
Sedangkan
penjelasan dan rinciannya dapat dituangkan dalam peraturan pelaksanaan,
sehingga diharapkan dapat tercapai kejelasan aturan dan perlakuan yang
fair antara bank syariah dengan bank konvensional. Industri perbankan
syariah adalah industri baru bertumbuh dan memiliki semangat untuk
berkontribusi secara optimal mendukung pembangunan ekonomi nasional.
Sudah sepantasnya kebijakan pemerintah bersifat mendukung perkembangan
industri keuangan tersebut.
Negara berpenduduk
mayoritas non-muslim telah memberikan contoh tentang obyektifitas dan
sikap akomodatif terhadap aspirasi pelaku industri keuangan syariah,
tentu merupakan ironi tersendiri bila pemerintah dan parlemen Indonesia
tidak peduli akan keresahan pelaku industri dan pengguna jasa bank
syariah tentang kepastian hukum dan perlakuan yang adil terhadap
industri keuangan syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar